Awalnya Cuma Mimpi, Suami-Istri Ini Nekat Lihat Puncak Everest Ke Tibet

Gyatso La Pass

Tibet diklaim sebagai the highest region on earth, dengan ketinggian rata-rata 4.900 meter. Elevasi tertinggi di Tibet adalah puncak Everest, 8.848 m di atas permukaan laut (Penduduk Tibet menyebut Everest sebagai Qomolangma, sementara penduduk Nepal menyebutnya Sagarmāthā).
Batas wilayah Tibet sedikit sulit untuk dijelaskan. Menurut pemerintah Cina, secara administratif Tibet hanya terdiri dari Tibet Autonomous Region (TAR) yang merupakan setengah area Dataran Tinggi Tibet dan ditinggali 40% dari total penduduk Tibet. Sementara bagi orang Tibet, secara kultural Tibet terdiri dari semua wilayah di Dataran Tinggi Tibet yang ditinggali oleh penduduk asli Tibet, daerah tersebut mencakup semua area TAR, Qinghai, utara dan barat Sichuan, bagian barat daya Gansu dan barat laut Yunnan.

Pada bulan April-Juni yang lalu, saya dan suami melakukan perjalanan ke Cina-Tibet-India-Kashmir selama dua bulan. Beberapa tulisan saya tentang Kashmir dan Chengdu sudah saya post di grup BD ini, dan sekarang akan saya ceritakan sedikit bagaimana perjalanan kami bermula;

Sudah sejak lama saya bermimpi untuk melihat Gunung Everest dengan mata kepala sendiri, tidak perlu bertaruh nyawa untuk mendaki sampai puncak, cukup melihatnya secara langsung saja. Mimpi itu lama-lama terkubur dengan rutinitas dan prioritas lain, nyaris lenyap. Sampai suatu hari saya nonton film The Secret Life of Walter Mitty, entah kenapa film itu membawa saya pada kesimpulan: bahwa suatu saat saya akan menyesal karena tidak memperjuangkan mimpi melihat Everest. Setelah memantapkan hati, saya sampaikan rencana Everest ke Suami, dan kamipun berdiskusi banyak hal, terutama masalah dana dan waktu. Tapi kami berdua sepakat bahwa perjalanan kali ini sangat layak untuk diwujudkan.

Awalnya tujuan kami hanya Everest Basecamp (EBC). Tapiii.. hal yang sangat berbahaya dari browsing tentang traveling, baca blog dan catatan perjalanan orang lain adalah ‘racun’nya. Setelah berminggu-minggu cari info via internet, dari tujuan semula hanya mengunjungi Basecamp Everest ternyata itinerary yang tersusun malah menjadi: Menyusuri Pegunungan Himalaya! Tibet-Nepal-India-Kashmir.
Kami mulai menabung ketat, mencicil semua kebutuhan (pakaian, peralatan, obat, dan mengurus visa Cina & India), kami hanya menyusun itinerary secara garis besar, kalau suka di satu tempat kami akan tinggal lebih lama sebaliknya kalau kurang betah ya pindah ke tempat lain. Tiket pesawat yang disiapkan hanya Jakarta – Chengdu sekali jalan, selebihnya semua perjalanan direncakan via darat (mobil, bus, kereta). Pulang kapan dan dari mana, gimana nanti saja. Kami akan pulang dalam tiga kondisi:
1) Ada situasi emergency (baik kami atau keluarga dekat di rumah),
2) Uang kami habis (pegang credit card, sehabis-habisnya uang masih bisa gesek cc untuk tiket pulang),
3) Visa kami habis (bisa pindah negara bebas visa sih… hehe..)
Waktu berangkat yang dipilih pertengahan April supaya yakin Tibet sudah dibuka untuk turis asing, cuaca sudah mulai hangat tapi belum masuk puncak musim liburan. Pertimbangan lain adalah jalur darat Srinagar-Leh sudah buka begitu kami tiba di Kashmir.
—————–
Tips untuk persiapan ke Tibet:
1) Untuk memasuki Tibet harus memiliki Tibet permit dan harus melalui agen travel resmi yang diakui pemerintah Cina, artinya turis asing tidak bisa masuk Tibet secara independen dan jangan pernah berpikir bisa masuk ke Tibet secara ilegal. Karenanya traveling ke Tibet bukan untuk turis dengan very low budget, walaupun kita bisa menekan biaya dengan memilih agen yang paling murah. Kita tidak bisa couchsurfing atau menumpang tinggal di rumah penduduk, tidak bisa menggunakan transportasi publik dan hanya bisa tinggal sesuai tanggal yang tertera di Tibet permit.
Pilihlah agen travel yang dimiliki dan dijalankan oleh warga Tibet asli. Dari hasil ngobrol dengan sesama turis di Tibet, Tibetan-owned travel agencies akan lebih jujur dengan tamu mereka, kita bisa bertanya segala hal, bahkan hal sensitif seperti pandangan masyarakat Tibet terhadap situasi politik, tanpa ada yang ditutupi atau sejarah yang dihapus karena campur tangan pemerintah yang berkuasa. Kami tidak pernah dibawa ke toko suvenir untuk belanja, bahkan guide saya membawa ke pasar lokal ketika saya butuh melengkapi beberapa barang.

2) Pilih waktu berkunjung yang tepat. Pada bulan Maret setiap tahunnya Tibet ditutup untuk orang asing selama 4-6 minggu. Biasanya dimulai dari awal – pertengahan Februari dan dibuka kembali awal April. Alasannya adalah, bulan Maret merupakan bulan yang sensitif bagi Tibetans karena merupakan peringatan mengungsinya Dalai Lama ke India tahun 1959, pada bulan Maret banyak terjadi demo dan pemberontakan masyarakat Tibet terhadap pemerintah China (termasuk ‘kerusuhan’ tahun 2008). Belakangan guide saya juga menambahkan kalau di bulan Maret banyak ritual keagamaan yang dilaksanakan sehingga mereka tidak menerima tamu dan memilih untuk fokus beribadah.
Perhatikan juga faktor cuaca; musim panas suhu lebih hangat tapi karena musim turis jadi paket tur/ penginapan bisa lebih mahal. Selain itu pada musim panas biasanya langit malah lebih sering berawan sebaliknya musim dingin langit lebih bersih.

3) Kondisi Fisik. Tibet memiliki elevasi rata-rata 4900 meter (Lhasa 3490 meter -wikipedia-). Berada di ketinggian segitu membuat kita rawan terkena Altitude Sickness (level mediumnya disebut Acute Mountain Sickness (AMS)). Berbagai informasi yang saya baca, selain penduduk yang biasa tinggal di ketinggian tersebut, siapa saja berpotensi terkena AMS. Yang paling penting jaga kesehatan sebelum memasuki daerah tsb, hindari konsumsi alkohol. Beberapa traveler percaya dengan berangkat ke Tibet naik kereta dari Chengdu atau Beijing bisa sekalian beraklimatisasi. Tapi hal ini kurang tepat karena keretanya tertutup rapat dari udara luar, memiliki oksigen tambahan dan tekanan di dalam gerbong yang bisa diatur. Persiapkan peralatan pribadi yang tepat (pakaian, obat-obatan, sunglasses, dll).

4) Be a smart traveler, saya sempat bertemu seorang turis yang ngamuk ke guidenya karena Puncak Everest tertutup awan ketika mereka sampai di Basecamp. Kalau anda tipe yang seperti ini silahkan belajar ilmu pengusir awan dan pengatur cuaca sebelum berangkat ke Tibet. Juga perlu diingat selama di Tibet kita merupakan tanggung jawab agen yang membawa kita, jika kita melanggar peraturan yang sudah ditetapkan seperti mengambil foto tentara, tinggal melebihi batas permit, maka agen tersebut akan ikut kena denda yang besar, dan bisa-bisa lisensi guidenya dicabut.
Jangan menenteng buku Lonely Planet selama di Tibet, kalau dilihat oleh tentara/ polisi, buku tersebut akan disita. Dari postingan ini juga bisa diambil hikmah pentingnya asuransi perjalanan dan pentingnya membawa credit card dalam situasi emergency.

Kebanyakan orang menjadikan Tibet sebagai destinasi yang hanya didatangi sekali seumur hidup, baik karena Everest atau ziarah spiritual bagi umat Budhist. Karena cuma sekali, persiapkan perjalanan ini dengan matang.
Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin saya ceritakan tentang trip ke Tibet, selain kultur dan budaya masyarakat, landscape yang indah, Tibet juga memiliki sejarah yang menarik; tentang perpaduan berbagai budaya dan agama, tentang para pemimpin dan konfliknya (Dalai Lama, Panchen Lama, Karmapa), tentang keadaan warga Tibet dan politiknya sekarang sampai dengan Sky Burial.
—————-
Kami berangkat dari Jakarta 13 April 2015 ke Chengdu. Sebenarnya Chengdu ditambahkan ke itinerary karena kami masuk ke Tibet menggunakan kereta dari sana. Toh kami juga sudah punya visa Cina, sayang kalau tidak dimanfaatkan.
(Postingan untuk Backpacker Dunia tentang Chengdu dapat dilihat di:
https://www.facebook.com/groups/128092889677/permalink/10153510018659678/ )

Menurut jadwal, perjalanan kereta memakan waktu 43 jam, kami memesan tiket hard sleeper supaya bisa istirahat dan tetap fit sampai di Tibet, satu kompartemen tanpa pintu di isi 6 orang, tiga tingkat di tiap sisi. Tips untuk kelas hard sleeper, hindari tempat tidur paling atas, selain sangat mepet dengan langit-langit (sampai tidak bisa duduk), lubang AC sejajar dengan kepala, tidak bisa melihat pemandangan di luar pula.
Naik kereta dari Chengdu ke Tibet juga menjadi pengalaman tersendiri. Jalur ini melalui elevasi tertinggi di dunia untuk lintasan kereta api, ketinggian 5068 m di Tanggula Pass. Hari kedua di kereta saya mulai terkena gejala AMS, kepala saya sakit luar biasa, napas saya sesak, dan saya memuntahkan apapun yang saya telan.

Kereta tiba di Lhasa 2 jam lebih cepat dari Jadwal. Saya yang terbangun dari tidur langsung panik! Barang masih berceceran sementara petugas sudah mengusir kami keluar kereta. Turun dari kereta, kami diteriaki oleh petugas stasiun supaya cepat keluar. Bahkan saya yang berhenti untuk mengikat tali sepatu didatangi dan dibentak-bentak. Warga Tibet tidak diizinkan masuk ke dalam stasiun, maka selesai urusan lapor-melapor dengan petugas segera keluar dari stasiun ke arah parkiran mobil, biasanya guide yang menjemput menunggu disitu. Kalau guide anda bisa masuk ke stasiun, maka dia bukan orang Tibet asli smile emotikon

Begitu tiba di Lhasa sebaiknya dipaksakan jalan, pelan-pelan saja supaya tubuh cepat beradaptasi dengan ketinggian dan tipisnya oksigen, tapi jangan mandi dulu, apalagi sampai membasahi kepala. Setelah menaruh barang, kami berjalan-jalan mencari apel dan makanan hangat, saya tidak tau apa hubungannya secara medis, tapi banyak yang bilang apel bagus untuk mengurangi gejala AMS. Kurang dari 10 menit jalan kaki, kami sudah sampai di muslim area. Ada Masjid besar banyak sekali yang menjual berbagai jenis makanan halal.

Dua hari pertama masih dalam proses adaptasi dengan oksigen yang tipis dan suhu yang dingin. Kegiatan yang dilakukan juga tidak banyak, hanya mengunjungi berbagai monastery, berjalan-jalan di sekitar hotel dan area turis di Bakhor Street. Hari pertama kami berjalan kaki ke Jokhang Temple di Bakhor Square, dilanjut ke Potala Palace. Untuk masuk ke Potala Palace, kita harus menaiki tangga yang cukup tinggi, ambil langkah pelan-pelan dan atur napas. Saya sebenarnya kurang nyaman berada di dalam Jokhang Temple dan Potala Palace, nyempil-nyempil di antara orang yang sedang khusuk berdoa. Saya merasa mengganggu mereka, seperti nyelip diantara shaf orang yang sedang shalat.
Hari kedua kami ke Drepung Monastery dan Sera Monastery, di Sera para turis bisa melihat sesi debat para biksu. Sayangnya setelah saya konfirmasi, itu semua hanya atraksi untuk para turis saja. Beberapa kuil melarang untuk mengambil foto di dalam, kalaupun boleh harus membayar mulai dari 10-40 yuan per kamera.

Hari ketiga, kami memulai perjalanan ke Everest Base Camp (EBC). Mobil berjalan pelan karena ada batas kecepatan 40 km/jam. Hari itu kami menuju Shigatse, mampir di Yamdrok Lake, Kangsar Glacier dan Pelkhor Choede Monastery.

Di hari keempat setelah sarapan, guide kami, Gyaltsen memberi pilihan, opsi pertama kami tetap mengikuti rencana awal ke Lhatse, menginap di hotel lokal dan nanti setelah turun dari EBC menginap di Guest House biasa di Zhangmu (kota perbatasan Tibet dengan Kodari, Nepal). Atau ditukar, malam itu kami menginap di losmen sederhana di Old Tinggri dan di Zhangmu menginap di hotel bagus. Tentu saja kami sepakat opsi kedua, save the best for the last! Berdingin-dingin dahulu, mandi air hangat kemudian. Biar hepi-hepinya belakangan. Bahkan kami langsung merencanakan sebuah pesta kecil untuk malam terakhir kami di Tibet nanti.
Saya dan suami berpamitan dengan keluarga, karena setelah Shigatse tidak ada wifi, kami akan menghilang sementara dan akan memberi kabar lagi tanggal 26-27 April setelah sampai di Kathmandu, Nepal.

Hari itu kami hanya mengunjungi Sakya Monastery dan langsung menuju Old Tinggri, sesaat sebelum sampai losmen mobil dihentikan. Gyaltsen berkata “Kalian sungguh beruntung, bertahun-tahun saya membawa tamu kesini, sangat jarang kita bisa melihat puncak Everest dari sini, bukan cuma Everest, lihat itu, puncak Cho Oyu, Lhotse dan Makalu juga terlihat.” Kami langsung berebutan keluar dari mobil, langit sedikit berawan tapi keempat puncak gunung tsb terlihat jelas, puncak yang memikat ratusan orang untuk mendatanginya setiap tahun. Luar biasa!
Nah, malamnya salju turun cukup lebat, kamar kami tidak memiliki pemanas, kondisi badan yang terbiasa dengan suhu tropis mulai berontak, kami mengigil walau sudah memakai baju, jaket dan selimut berlapis-lapis, kami berdua mulai susah napas dan hampir tidak bisa tidur malam itu. Setelah merasa cukup hangat dan mulai mengantuk tiba-tiba urusan toilet memanggil, Aaarrrghhh!!! Sungguh sangat malas keluar dari tumpukan selimut, berjalan ke toilet umum ditengah hujan salju dan angin kencang.

Syukurlah pagi harinya cuaca cerah, perjalanan dilanjutkan, tidak jauh dari losmen kami berbelok keluar dari jalan utama, meninggalkan mulusnya jalan beraspal, memasuki jalanan berbatu menuju EBC. Langit awalnya cerah, tapi semakin kami menanjak, kabut mulai muncul dan sampai di EBC kabut sudah tebal. Setelah menaruh barang-barang di satu tenda, kami digiring Gyaltsen ke sebuah mini bus untuk sampai ke Basecamp untuk para pendaki. Salju mulai turun. Sayangnya langit tertutup kabut dan awan, gunungnya mana? Belum lagi angin kencang membuat dingin semakin menjadi, setiap kulit yang terekspos udara dingin terasa sakit dan perih. Kami berfoto sebentar dan kembali, kami sedikit kecewa, sudah sampai sini gunungnya malah ngumpet.
Di EBC ada kantor pos tertinggi di dunia, mereka menjual kartu pos seharga 25 yuan satu pak (isi 10 sudah termasuk prangkonya), sayang cuma bisa diposkan ke alamat Tibet dan Cina saja.

Kondisi fisik saya dan suami semakin menurun, bahkan selain napas sesak dan kepala sakit, saya merasa telinga mulai budeg, dan nafsu makan hilang sama sekali. Sorenya, kami mendengar sorakan-sorakan dari luar tenda. Kami keluar, langit cerah, terlihat dari tempat yang juga dikenal sebagai The North Face Basecamp puncak Everest bertahta anggun di singgasananya diantara gugus pegunungan Himalaya, diselingi awan tipis yang membuatnya misterius. Saya langsung merasa emosional, perasaan bercampur aduk… Duh, Everest segitu susahnya perjuangan untuk melihatmu dengan mata kepala sendiri… Tapi seketika semua rasa susah terbayar, kami pun bisa membawa cerita perjalanan ini untuk saudara dan teman-teman.
24 April 2015, kami berada di Everest Basecamp!

Malamnya, rasa sakit kepala dan sesak napas muncul lagi. Saya sudah minta supaya tangki oksigen yang ada di mobil diturunkan dan ditaruh dekat tempat kami tidur, supaya sewaktu-waktu bisa segera dipakai jika dibutuhkan. Kami tidur dengan berlapis-lapis selimut tebal, diluar salju turun lagi, suhu hampir mencapai -20° C, dan kami semua berharap jangan sampai kebelet buang air pas udah selimutan begini. Dalam kondisi begini, urusan toilet membutuhkan tekad dan perjuangan tersendiri.

25 April 2015
Kabut tebal lagi-lagi menyelimuti EBC, tidak ada harapan lagi Everest akan terlihat sampai waktu kami berangkat. Tapi hanya satu yang ada di pikiran saya, supaya cepat turun ke elevasi yang lebih rendah. Dari 5 orang peserta tur, hanya satu orang yang masih bugar, sementara yang lain tergeletak lemas, kepala sakit, tidak ada nafsu makan.
Rute kami hari itu dari EBC, istirahat makan di Old Tinggri kemudian lanjut ke Zhangmu.
Di Gyatso La Pass (5260 m), elevasi tertinggi selama trip (lebih tinggi dari EBC) kami berhenti dan untuk pertama kali berfoto bersama seluruh anggota tur + Gyaltsen dan supir kami, Tenzing. Kami semua senang, kondisi fisik mulai membaik. Gyaltsen bilang kalau sekitar satu jam lagi, kita akan tiba di Zhangmu, kami bersemangat membicarakan akan seperti apa pesta kami nanti malam, membayangkan akan mandi dengan air panas, dan nanti malam akan tidur pulas dengan kondisi bersih dan segar. Besok pagi kami akan berpindah ke Nepal dan bersiap dengan petualangan baru. Walaupun selama trip cuaca tidak secerah yang diharapkan, tapi kami bersyukur, Everest sudah bermurah hati menampakan wujudnya kepada kami.

Peribahasa manusia boleh berencana tapi Tuhanlah yang menentukan terjadi tepat ketika kami turun dari Gyatso La Pass. Seseorang menghentikan kendaraan kami, dia memberitahukan sesuatu dan Gyaltsen menerjemahkan:
“Baru saja terjadi gempa bumi besar, jalan di depan tertutup longsor, kita harus berhenti di sini”
Reaksi kami saat itu biasa saja, karena kami berada di dalam kendaraan yang bergerak dan berguncang, tidak ada yang menyadari ada gempa. Semakin lama, semakin banyak kendaraan yang berhenti dan terlihat suasana tegang di kalangan orang lokal, beberapa kendaraan milik aparat (entah polisi atau tentara) lewat dengan sirine berisik. Waktu itu kami masih berpikir kalau itu adalah tim yang akan membersihkan jalan dari longsor. Tapi Gyaltsen membawa kabar buruk, Desa Nyalam yang berada sekitar 5 menit di depan rusak berat oleh gempa, dan ada korban jiwa. Saya dan suami langsung meminjam ponsel Gyaltsen dan browsing situs USGS. Muncul info tentang gempa yang berpusat di Nepal, lebih dari 7 skala Richter. Di waktu bersamaan ada telpon masuk ke seorang peserta tur, speaker dinyalakan, dan kami bisa mendengar si penelpon menjerit-jerit agar kami menjauhi Nepal. Nepal telah hancur oleh gempa, banyak bangunan yang rata dengan tanah, banyak korban jiwa, bandara tidak beroperasi, keadaan sangat kacau.

Kamipun mulai menyadari betapa seriusnya kondisi yang sedang kami hadapi sekarang. Semua komunikasi ke Zhangmu putus. Setelah dua jam lebih kami berhenti, Gyaltsen memutuskan kalau kami harus kembali ke Lhasa. Jalan tidak bisa dilalui, tidak ada info yang masuk tentang kondisi Zhangmu, kemungkinan besar perbatasan Tibet-Nepal pun ditutup.
Kami semua cemas, tapi masih mencoba menawar kemungkinan untuk menyebrang ke Nepal. Saya dan suami tidak punya plan B, begitupula dengan anggota tur yang lain.
Tapi Gyaltsen meyakinkan kami, kalau jalan terbaik adalah kembali ke Lhasa. Kalau kami langsung berangkat sekarang, tengah malam kami sudah bisa sampai di Shigatse, menginap semalam dan melanjutkan perjalanan ke Lhasa besok pagi.

Sepanjang perjalanan kami semua diam, kami semua harus mengambil keputusan berat tentang cara keluar dari Tibet. Tentu saja yang paling membebani saya dan suami adalah masalah biaya. Berangkat dari Indonesia dengan budget yang hanya cukup untuk membiayai rencana overland, tanpa tambahan biaya untuk penerbangan internasional. Asuransi perjalanan baru mau kami ambil setelah di Nepal dengan pertimbangan cukup dicover selama sebulan, waktu trekking di Nepal sampai perjalanan ke Kashmir. Salah besar! Niat berhemat malah jadi mumet.

Kami sampai di Shigatse sudah lewat tengah malam, dan semua langsung sibuk browsing mencari cara untuk keluar Tibet. Saya dan suami sudah pasti harus kembali ke Chengdu, dari sana baru mencari opsi untuk lanjut ke kota mana saja di India. Harga tiket melambung parah, penerbangan internasional untuk keberangkatan esok hari di awal musim liburan, sampai paginya kami belum memutuskan apa-apa.

Selesai sarapan kami langsung berangkat ke Lhasa. Bisa terlihat kami semua kurang tidur dan berwajah kusut. Di tengah jalan Gyaltsen menghentikan kendaraan dan mengajak kami turun, karena mobil kami sedikit ngebut jadi kami harus berhenti supaya jamnya pas waktu lewat pos pemeriksaan (ingat 40 km/jam). Gyaltsen menujuk sebuah bukit, dia menjelaskan bukit tersebut merupakan salah satu tempat Sky Burial. Berbicara kematian mungkin membuat kami tersadar dengan syukur yang seharusnya kami panjatkan. Kembali ke mobil, kami semua membicarakan hal-hal yang mungkin menyelamatkan kami dari gempa. Kemarin kami semua hanya terpisah 5 menit dari longsor besar di desa Nyalam, seandainya kami tidak foto-foto di Gyatso La Pass, tidak berhenti makan siang di Old Tinggri, tidak berjalan 40 km/jam, mungkin kami sudah terjebak longsor atau tertimbun longsornya? Seandainya kami berangkat sehari lebih cepat kami sudah berada di salah satu losmen murah di Thamel, mungkin kami ikut jadi korban gempa? Seandainya kami berangkat sehari lebih lama maka mimpi saya untuk melihat Everest tidak akan terwujud, karena ada longsor akibat gempa, Basecamp langsung ditutup dan entah kapan akan dibuka lagi.

God is good!

Kumpulan Yak sedang merumput (atau menyalju?). Salah satu pemandangan dari dalam kereta Chengdu-Tibet di hari kedua.

Muslim area di kawasan Old Town, Lhasa, pusat kuliner halal. Lhasa Great mosque/ Hebalin Mosque dibangun tahun 1716. Sayang masjidnya dikunci waktu kami kesana karena bukan waktu shalat. Warga muslim Tibet hidup rukun berdampingan dengan Tibetan Buddhist. Walaupun ada larangan yang jelas untuk non-muslim memasuki area masjid, tapi saya yang berkerudung, selama di Tibet tidak pernah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti di Chengdu. Yang menarik bagi kami di sini adalah kenyataan bahwa mereka kurang ramah terhadap orang asing, bahkan kami mengucapkan salam selayaknya kepada sesama muslim pun tidak semua menjawab. Kami pahami ini sebagai sikap inferior mereka, pemerintah Cina bersikap represif kepada warga Tibet di tanah mereka sendiri, ditambah agama mereka yang merupakan minoritas di Tibet.

Jokhang Temple. Terletak di Bakhor square, Lhasa. Jokhang yang berarti ‘Temple of the Lord’ merupakan salah satu tempat yang paling sakral untuk Tibetan Buddhist. Didirikan untuk kedua istri Raja Songtsen Gampo yang berasal dari China dan Nepal.

Bakhor Square dari atas Jokhang Temple. Terlihat Potala Palace di kejauhan.

Tibetan Bhuddist sedang beribadah di depan Jokhang Temple.

Potala Palace merupakan World Heritage Site. Berfungsi sebagai kediaman utama Dalai Lama, sampai sebelum Dalai Lama ke 14 melarikan diri ke India Maret 1959. Dibangun pertama kali oleh Dalai Lama ke 5 pada tahun 1645 di lokasi yang strategis sebagai pusat pemerintahan. Dalai Lama pertama hingga ke-4 bukan merupakan pemimpin Tibet secara politik, dan tinggal di Drepung Monastery. Dalai Lama ke-5 yang menyatukan semua sekte Budha di Tibet, merupakan orang pertama yang menjadi pemimpin Negara, Politik, sekaligus pemimpin Agama. Dan ‘jabatan’ ini diturunkan ke Dalai Lama berikutnya.

Bagian paling atas dari the White Palace, Potala Palace, disini ada biksu yang menjual air minum kemasan (kita dilarang membawa air minum ke dalam, bahkan sebelum masuk semua barang bawaan diperiksa dan kalau ada botol minum langsung disita). Setelah susah payah naik tangga di hari terik pastilah kita beli air minum disana, haha…

Dari puncak Potala Palace, terlihat sebagian besar kota Lhasa yang dikelilingi pegunungan. Guide saya menunjuk satu bangunan besar berwarna putih yang terlihat di kejauhan. Dia berkata kalau bangunan itu adalah ‘Mosquito Factory’. Saya tidak mengerti, dan dia menambahkan, ‘di sana pertama kali saya berjumpa kalian berdua’ ”Ow.. the train station!” ‘Yes, mosquito factory! Kalian boleh tidak percaya, nyamuk muncul di Tibet setelah ada kereta dari Cina kesini.’ Mungkin dia benar juga tentang stasiun kereta, selama dua bulan trip cuma sekali kami dinyamukin, waktu menginap di samping stasiun kereta di Jammu, Kashmir.

Drepung Monastery, terletak sekitar 5 km di pinggiran kota Lhasa. Merupakan pusat studi keagamaan dan sekolah para biksu Budhist Tibet yang terbesar. Tetapi sejak diawasi secara ketat oleh pemerintah Cina kredibilitasnya di mata warga Tibet menurun.

Salah satu atraksi di Sera Monastery, sesi debat para Biksu.

Keluar dari Sera Monastery ke arah parkiran lihat ini! Java coffee sampai ke Tibet smile emotikon

Sungai Brahmaputra/ Tsangpo-Brahmaputra. Bersumber dari Chemayungdung glacier, mengalir dari Tibet, Nepal, sampai ke India.

Yamdrok Lake/ Yamdrok Yumtso. Disini, banyak warga yang menawarkan kita untuk berfoto dengan Yak, anak kambing dan the famous Tibetan Mastiff. Tapi di regu kami tidak ada yang mau berfoto dengan Tibetan mastiff karena kasihan dengan anjingnya yang diikat dan ditarik-tarik (Di Sakya Monastery saya lihat beberapa jenis anjing ini yang berkeliaran bebas).

Kangsar Glacier. Menurut guide saya dulunya gletser ini lebih besar, esnya sampai ke dekat jalan beraspal, semakin lama semakin mengecil dan kemungkinan akan hilang beberapa tahun lagi. Pertanda pemanasan global mungkin?

Pelkhor Chode Monastery, Shigatse. Terkenal dengan arsitekturnya, sayangnya ketika kami kemari bangunan utamanya sedang direnovasi sehingga hanya sebagian kecil yang bisa dimasuki. Di foto terlihat juga bagian dari Gyantse Fort. Di sini ada sebuah aksi vandalisme terhadap lukisan dinding berusia ratusan tahun yang ditimpa oleh tulisan “Long live Mao Zedong”. Dapat dilihat di: https://www.instagram.com/p/2BGCPyGJW1/?taken-by=er_bim

Di Tashilhunpo Monastery, setelah berkeliling, kami mendengar orang-orang bersuara keras, persis seperti sesi debat para biksu di Sera Monastery. Guide kami mencari sumber suara dan dengan bersemangat dia mengatakan kalau para biksu sedang mengadakan sesi debat sungguhan, dia meminta ijin supaya kami bisa mengamati dari kejauhan. Kebetulan saat itu turis yang ada hanya dua grup kecil, total 9 orang sehingga diijinkan. Kami semua mengamati dalam diam, bahkan untuk foto saja sedikit sembunyi-sembunyi. Berbeda dengan di Sera yang biksunya kadang cengengesan, semua biksu tampak serius, saling teriak sampai wajah memerah, kaki menghentak, tangan menepuk keras. Kami semua takjub. Sampai tiba-tiba 2 orang perempuan asal Vietnam dari grup lain jalan ke tengah kerumunan biksu dan selfie disana. Seketika itu juga kami diusir untuk meninggalkan tempat. Terdengar makian penuh rasa kesal dalam berbagai bahasa tertuju ke kedua orang itu.

Serombongan ibu-ibu mampir untuk berdoa sepulang mengembala ternak di Sakya Monastery. Mereka sangat ramah dan menyempatkan diri untuk ngobrol dengan kami (diterjemahkan guide pastinya).

Satu-satunya tempat dimana bagian dalamnya bebas kami foto hanya di Sakya Monastery, yang lainnya harus membayar atau sama sekali dilarang foto.

Old Tinggri, meninggalkan jalan beraspal menuju Everest Basecamp (EBC), kami sedang berhenti untuk melapor dan mengurus perijinan.

Landscape menuju Everest Basecamp.

The Highest Post Office in the World (5200 m) dengan latar belakang Mt. Qomolongma/ Everest.

Base Camp untuk para pendaki Everest, sekitar 10 menit dengan bus kecil dari Base Camp untuk para turis. Kami tidak diperbolehkan kesana, batas akhir hanya sampai di tempat saya mengambil foto. Mau nekat nyamperin juga gak bisa, di jaga sama tentara soalnya.

Gyatso La Pass. Mungkin Foto ini jadi salah satu momen yang menyelamatkan kami dari longsor di jalan menuju Zhangmu.

Yolanda (yowangdu.com) mengirimi saya foto ini, dia menjelaskan kalau longsor di foto ini mungkin hanya sekitar 10 menit dari tempat kami terakhir berhenti. Saya langsung merinding, membayangkan apa jadinya kalau sampai mobil yang kami tumpangi tertimbun dibawah longsoran batu tersebut. Atau kalaupun kami sudah berhasil lewat, kami tidak bisa kembali dan terkurung selama beberapa hari di kota yang hancur tanpa komunikasi. Saya banyak berkorespondensi dengan Yolanda dalam mempersiapkan perjalanan ke Tibet, begitu pula setelahnya. Foto ini berikut email saya kepada Yolanda dimuat di: http://www.yowangdu.com/tibet_travel/tibet-travel-nepal-earthquake.html (di email tersebut saya typo dalam menulis Gyatso La Pass menjadi Gyotala Pass)

Sumber

Share

You may also like...